Friday 1 May 2015

Sebuah Kado: Semacam Testimoni

Sejujurnya, sebagai seorang anak sulung sekaligus pewaris tampuk kepemimpinan keluarga setelah sesosok bapak tiada, saya belum bisa disebut baik, apalagi luar biasa.

Sebut saja misalnya jika saya ditanya kelas berapa adikmu yang paling kecil sekarang? Saya masih harus meraba dan menghitung dalam ingatan untuk bisa menjawab. Terlebih jika ditanya soal seberapa jauh virus merah jambu mewabah dibenak adik-adik saya, rasa-rasanya saya akan lebih fasih menjawab pertanyaan semacam seberapa jauh hegemoni kapitalistik merangsek masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan kita. (Uhhh bhosonyooo...opo iku hegemoni kapitalistik???)

Akan tetapi, mungkin itulah resiko hampir sepuluh tahun hidup dalam perantauan, yang mungkin masih akan berlanjut. Sesekali masih dapat bertemu pun sudah anugerah besar dari Tuhan  (Allah swt) yang Maha Rahim.

Satu-satunya hal yang tak pernah terpikirkan sejak melangkahkan kaki dari rumah tahun 2005 lalu, adalah saat ini kalian, adik-adikku, tumbuh menjadi remaja yang luar biasa. Eh ralat....menjadi anak-anak yang luar biasa. Lhaa malah jadi berasa tua...ralat lagi...tumbuh menjadi insan yang luar biasa. :)

Dan di hari yang spesial ini, milad yang ke-empat-puluh-dua ibu kita tercinta, izinkan kakak sulung kalian memberikan semacam testimoni tentang kalian semua. (Hey kalian,adik-adikku, dengarkan ini!!! #sambil nunjuk pake empat jari :wk)

Let's Go...

Adik saya yang pertama namanya Fatkhana, dia mencandai dirinya sebagai anak yang kecentet :D hha...pasalnya dari seluruh adik-adik saya, dari segi fisik hanya dia yang paling tidak tinggi, pun dari segi daya berpikir. Tapi soal kemampuan bersosialisasi dengan orang lain dan jiwa dagang, saya harus banyak belajar darinya. Dia relatif lebih berani dibanding yang lain, mungkin jiwa bapak lebih banyak menetes ke darahnya. Dibalik sifatnya yang kadang berontak, dia adalah sesosok wanita yang sebenarnya kuat. Maka saya menjulukinya sebagai si Kuat. Dan satu lagi, dalam masalah jodoh dia lebih beruntung daripada saya, agaknya akan ada yang tersusul menuju tangga samawa. ( Nah lhoo...jadi salah fokus, ssttt....skip, kembali ke fokus:(  )

Selanjutnya ini dia si ganteng kalem :D hahaha....Muslikh Abdul Rosyid. Kalau teman-teman saya mengenal saya sebagai orang yang dingin dan sebangsanya, maka entah sebutan apa yang mereka katakan kepada adik saya yang satu ini. Saya kalah misterius dibanding dia. Keinginannya, harapannya, cita-cita dan hampir setiap keputusannya susah ditebak. Beberapa hal yang boleh saya merasa -cukup- tahu adalah bahwa dia merupakan referensi bagi teman-temannya soal akademik, dia juga mempunyai tekad yang daya tahan bantingnya relatif panjang. Selain itu,dibalik sifatnya yang pendiam, dialah yang paling caredibanding lainnya. Saya menjulukinya sebagai si Sahaja. (Hey gadis, jika anda mampu memikat hatinya, saya pastikan dia akan mati-matian menperjuangkan kebahagiaan anda. Lhaaa....salah fokus lagi. :v )

Dan berikutnya si cantik manja kelas wahid, Kartini atau Aprilia Kartini. :p wkwk.... Saya terperanjat ketika melhat hasil tes IQ masing-masing kami ternyata kemampuan rata-rata kognitif umum saya terpaut beberapa point lebih rendah dibanding dia, apalagi kemampuan eksakta, nilai saya ciut -_. Saya harus buka-buka lagi paririmbon kalau mau debat matematika dengan dia. Meski pas-pasan, soal selera hidup agaknya dia bakal masuk jajaran elit se-kota panembahan (Nahhh ini lagi, sejak kapan panembahan disebut kota!?). Akan tetapi, walaupun terbilang manja, dia adalah sesosok wanita yang aktif dan enerjik. Atas keberhasilannya mencundangi saya dalam tahta intelektualitas keluarga, saya menjulukinya sebagai si Cerdas. (Opo meneh iki intelektualitas?? bhosomuuuu...)

Terakhir, dalam deret adik-kakak seayah seibu, ini dia Ahmad Farikhin. Harus saya akui saya tidak punya referensi banyak tentangnya, yang saya tahu sekedar sikap-perilaku lazimnya anak-anak seumuran dia. Sejak saya merantau saat dia masih umur dua bulan, praktis hampir bisa dibilang saya hanya -nongol- di hadapannya pada saat-saat lebaran saja. Entah kenapa, saya ingin sekali menjulukinya sebagai si Agamis, karena dia juga tumbuh dan dibesarkan dalam tradisi pesantren. Dari semua itu, satu hal yang masih tanda tanya adalah kenapa bapak memberikan nama anak terakhirnya Ahmad-Farikhin. Hampir sama dengan saya yang anak pertama. Sama-sama terdiri dari dua kata. Saya Nur dia Ahmad, saya Fakhri dia Farikhin. Sebuah misteri yang ia tinggalkan sebelum kembali kepada-Nya. (Walahhh jadi mellow, wis wis....)

End...

Hey kalian, adikku semua, jangan dulu beranjak, belum selesai ini! Sampaikan salam kepada ibu...bahwa anak sulungnya yang kebangetan merantaunya itu, --ucapkan dan peragakan ini-- "I always love you like you love me. Only God knows how much you mean to me." (Nahhh...awas ya, kalian punya tugas menerjemahkannya ke ibu, oke!!). Sampaikan juga bahwa ibu harus jadi seorang wanita yang paling bahagia sedunia-akhirat.

Dan untuk kalian semua, terlalu mahal kalau hidup hanya untuk meratapi keadaan saja atau berjuang hanya untuk mengejar kenikmatan dunia saja. Jadilah remaja, anak-anak, dan insan yang luar biasa. Dan catat, kalian juga bertanggung jawab untuk menjadikan ibu sebagai wanita paling bahagia sedunia-akhirat! (Naon deui ieuuuu...sok menasehati...hahaha)

Oh iya...kalian jangan sampai bertanya, kalau semua punya julukan, terus julukan kakakmu apa?? Khawatir dia malah balik bertanya: Julukanku si...siapa yang punya??? (heuheu saratus persen gagal fakus maning maning...:D )

Salam sayang dari kakak kalian, :)

Bandung, 01 Mei 2015
Pukul 00.42 GMT +7

Rekan Blog